SUARA ARTIKEL – Belum lama ini muncul pembahasan menarik di tengah-tengah masyarakat dan di kalangan ahli mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP sendiri merupakan suatu badan yang dibentuk oleh presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP yang mana lembaga ini merupakan reinkarnasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017.
Dilihat dari regulasi tersebut, sebenarnya lembaga ini sudah berdiri sejak lebih kurang satu tahun yang lalu dengan bentuk awalnya UKP-PIP. Yang membuat pembahasan mengenai hal ini menarik, sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP. Dalam perpres tersebut banyak yang menilai besaran hak-hak keuangan yang diterima oleh anggota BPIP terlalu besar dan tidak sesuai dengan kondisi negara yang sedang sulit sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat.
Melalui tulisan ini penulis tidak akan membahas mengenai hak-hak keuangan, namun ingin mengkaji eksistensi lembaga tersebut dari sudut hukum ketatanegaraan karena memang banyak masyarakat yang mempertanyakan urgensi berdirinya BPIP ini, ada yang menilai BPIP sebagai lembaga “mubazir” karena tidak memiliki urgensi dan hanya merupakan ajang bagi-bagi kekuasaan, ada juga yang menilai BPIP jelmaan dari BP7 seperti yang pernah ada pada masa orde baru, selain itu ada yang menilai lembaga ini sudah tepat dan sesuai dengan kebutuhan negara, dan ada juga yang mempertanyakan seperti apa model kerja dari lembaga ini.
Apapun pendapat yang muncul di masyarakat sebenarnya harus dipandang merupakan kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi dan harus dihargai dan diberi tempat dalam negara Indonesia. Penulis sendiri melihat, sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaan BPIP apalagi di tengah momentum pemerintah dalam memerangi radikalisme dan terorisme yang disinyalir bersumber dari ideologi radikal. Akan tetapi, yang menjadi persoalan besar adalah bagaimana mengukur tingkat keberhasilan dari lembaga ini, atau jangan-jangan ini hanya ajang bagi-bagi kekuasaan dan jabatan dengan memanfaatkan momentum radikalisme dan terorisme.
Menurut penulis, dari perspektif filosofis sebenarnya keberadaan lembaga ini sudah baik, karena kehadiran lembaga ini sebagai lembaga yang bertugas mengawal pancasila agar nilai-nilai pancasila tetap terjaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan memberikan pemahaman pancasila secara benar kepada masyakat. Hal ini menjadi penting karena pancasila merupakan landasan ideologi dan merupakan dasar negara Indonesia yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, menjadi suatu keniscayaan bahwa nilai-nilai pancasila harus selalu hidup dan dipergunakan dalam penyelenggaraan negara Indonesia. idoelogi dalam sebuah negara memiliki kedudukan yang sangat penting, ideologi diibaratkan jati diri bangsa yang menjadi prinsip dan membedakan dengan negara lain. Tanpa ideologi sebuah negara akan hancur. Seperti Uni Soviet yang hilang karena masalah ideologi, Korea yang pecah juga karena perbedaan ideologi, dsb. Pancasila sendiri sebagai ideologi negara Indonesia merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang mewakili karakteristik bangsa Indonesia itu sendiri. Dari sudut pandang inilah secara filosofis keberadaan BPIP menjadi penting.
Dilihat dari perspektif yuridis, dengan peralihan UKP-PIP menjadi BPIP terdapat implikasi subtantif dari perubahan tersebut, yaitu secara kelembagaan lembaga ini menjadi lebih permanen karena tidak harus mengikuti masa jabatan presiden sehingga lebih memberikan kepastian hukum tentang eksistensi lembaga ini karena bukan lagi lembaga ad-hok (sementara). Hal ini dapat dilihat dari perubahan nama dari unit menjadi badan walaupun dari sisi hukum belum terjadi penguatan karena dasar pembentukannya tetap sama yaitu peraturan presiden karena sebenarnya, dasar hukum dalam bentuk undang-undang tentu lebih ideal karena memberikan status hukum yang lebih kuat.
Dengan transformasi ini membawa implikasi pada perluasan kewenangan lembaga, karena setelah menjadi badan, BPIP akan berstatus setingkat kementerian dan dengan sendirinya kewenangan lembaga ini mengalami perluasan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP yang menentukan bahwa BPIP mempunyai tugas membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi pancasila, melaksanakan koordinasi, singkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberi rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi sosial politik dan komponen masyarakat lainnya.
Berbeda jika dibandingkan pengaturan dalam Pasal 3 Peraturan PRESIDEN Nomor 54 Tahun 2017 tentang UKP-PIP menentukan bahwa tugas UKP-PIP adalah membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi pancasila dan melaksanakan koordinasi, singkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dari kedua pengaturan di atas, tampak bahwa antara BPIP dan UKP-PIP memiliki perbedaan kewenangan, BPIP memiliki kewenangan yang lebih luas daripada UKP-PIP. Secara yuridis ini baik karena dengan semakin luasnya kewenangan yang dimiliki BPIP akan semakin leluasa dan disegani oleh lembaga-lembaga lain.
Yang juga penting, ditinjau dari perspektif sosiologis pentingnya keberadaan BPIP dapat dilihat dari kodisi negara saat ini yang mana di tengah isu-isu masuknya paham radikal yang intoleran yang dapat mengarah kepada aksi-aksi terorisme, seolah pancasila sebagai ideologi negara mendapat tantangan yang besar. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) didukung oleh UN Woman dan Wahid Foundation pada 6-27 Oktober 2017 melibatkan 1.500 responden (50% laki-laki, 50% perempuan) di 34 Provinsi (54% di Jawa) menggunakan teknik multistage random sampling dengan margin of error kurang-lebih 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen via wawancara. Sebanyak 57,1 persen responden bersikap intoleran (antar agama) terhadap kelompok yang tidak disukai, jumlah ini meningkat dibanding survei pada 2016 dengan angka intoleran sebesar 51,0 persen. Selanjutnya sebanyak 13,2 persen setuju jihad kekerasan, yang netral 49,3 persen dan yang anti jihad kekerasan senbanyak 37,1 persen (detik.news). Dari data di atas, sebanyak 57,1 persen responden bersikap intoleran terhadap kelompok yang tidak disukai dan sebanyak 13,2 persen setuju jihad kekerasan walaupun masih jauh lebih kecil yang tidak setuju sebanyak 37,1 persen namun ini tetap hal yang mengkhawatirkan karena dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Indonesia.
Selanjutnya, menurut survei Saiful Majani sebagaimana disampaikan oleh Mahfud MD (ILC 06 Juni 2018) mengatakan 87 persen penduduk Indonesia menghendaki pancasila sebagai dasar negara, 9 persen menginginkan negara islam, 4 persen tidak tau. Walaupun hanya 9 persen yang tidak menginginkan pancasila jika dikalkulasi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini yaitu lebih kurang 24 juta. 24 juta bukan angka yang sedikit dalam suatu negara. Khotbah-khotbah di masjid-masjid BUMN dari 100 khotib 41 khotbahnya intoleran, 8 dari 41 anti nation state (negara kebangsaan).
Selain itu, berdasarkan penelitian yang lebih ilmiah (disertasi Khaidar Nasir UGM) gerakan islam syariah yang ingin mengganti negara pancasila dengan negara agama ada tiga organisasi yaitu pertama Hisbut Tahrir Indonesia ingin mengganti negara pancasila dengan negara khilafah, kedua Majelis Mujahiddin Indonesia ingin memberlakukan semua hukum di Indonesia hukum islam walaupun tetap dengan dasar pancasila, ketiga Komite Persiapan Pemberlakukan Syariat Islam di Sulawesi Selatan menginginkan semua daerah yang memiliki wakil dari umat muslim yang dominan di DPRD agar membuat perda syariat.
Kondisi lain yang mudah dilihat yaitu, akhir-akhir ini gerakan-gerakan radikal yang mengarah kepada aksi terorisme cukup mengkhawatirkan di Indonesia. Terjadi beberapa aksi pengeboman gereja dan penyerangan terhadap anggota kepolisian yang menimbulkan keresahan di masyarakat. Di samping itu, dalam pergaulan sehari-hari mulai tampak sikap-sikap yang tidak sejalan dengan nilai pancasila di masyarakat seperti sikap individualisme, acuh-tak acuh, kurangnya gotong-royong, egois, apatis dsb. Dari kondisi-kondisi tersebut seolah nilai-nilai pancasila sebagai pedoman bernegara mulai dikesampingkan dan semakin jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia padahal sila pertama jelas mengingingkan toleransi antar umat beragama, dan sila ketiga mengingkinkan persatuan dalam primordial.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, secara sosiologis keberadaan suatu lembaga yang bertugas mengawal pancasila agar tetap terjaga dan selalu dijadikan pedoman bernegara menjadi penting di Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan BPIP dalam sistem ketatanegaraan Indonesia harus didukung walaupun masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan baik mengenai mekanisme kerja, indikator-indikator capaian, dan hak-hak keuangan anggotanya demi terciptanya suasana yang kondusif di masyarakat dan menyakinkan masyarakat agar percaya dengan keberadaan BPIP. Yang pada akhirnya BPIP ini dapat membawa perubahan positif pada semua komponen negara Indonesia.
Penulis : Nanang Al Hidayat, SH., MH
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo