SUARA ARTIKEL – Berdasarkan data hasil tilang dari 01 November sampai dengan 14 November 2017 didapat data pelanggaran tidak menggunakan helm adalah yang terbanyak yakni berjumlah 446 orang dibandingkan dari data pelanggaran yang lainnya hal ini dirasakan bahwa peraturan dalam hal penggunaan helm dimasyarakat dikabupaten Bungo masih sangat kurang. Kewajiban menggunakan helm Standar Nasional Indonesia bagi pengendara sepeda motor diatur dalam pasal 57 ayat (1) jo ayat(2) UU No.22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan Raya yang berbunyi:
(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan dijalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor.
(2) Perlengkapa sebagimana dimaksud pada ayat (1) bagi sepeda motor berupa helm standar nasional Indonesia.
Selain itu, pasal 106 ayat (8) UU No.22 tahun 2009 mengatur bahwa,
“ Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memnuhi standar nasional Indonesia”
Jika berdasarkan ketentuan diatas pengendara motor baik pengemudi maupun penumpang diwajibkan menggunakan helm dengan standar nasional Indonesia. Apabila melanggar, ancaman atas pelanggaran tersebut diatur dalam pasal 291 No.22 tahun 2009 yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak menggenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pasal106 ayat (8) dengan pida kurungan paling lama (1) bulan atau denda paling banyak Rp.250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud pada pasal 106 ayat (8) dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) atau denda paling banyak Rp.250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Adapun helm dengan standar nasional Indonesia sesuai UU No.22 tahun 2009 dapat diketahui dari adanya tanda SNI pada helm. Hal ini sesuai ketentuan pasal 3 huruf b peraturan menteri perindustrian N0.40/M-IND/PER/6/2008 tentang pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) helm pengendara kendaraan roda dua dan secara wajib.
Perilaku yang disebut juga tingkah laku menurut Natawidjaya (1978:16) adalah pernyataan kegiatan yang dapat diamati oleh orang lain dan merupakan hasil perpaduan dari pemahaman pengaruh-pengaruh luar dan pengaruh dalam. Selain itu kartono (1984: 3) menjelaskan perkataan tingkah laku atau perbuatan mempunyai pengertian yang luas sekali yaitu tidak hanya mencakup moralitas saja seperti berbicara, berjalan, lari-lari, berolahraga, bergerak dan lain-lain akan tetapi juga membahas macam-macam fungsi seperti melihat, mendengar, mengingat, berpikir, fantasi, pengenalan kembali, penampilan emosi-emosi dalam bentuk tangis atau senyum dan seterusnya.
Pada dasarnya dalam psikologi yaitu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, tingkah laku manusia itu mempersoalkan apa yang diperbuat dalam lingkungannya dan mengapa ia berbuat seperti yang ia buat (Petty, 1982:54). Dalam hal ini dipakai istilah psikologi karena perilaku seseorang dianggap sebagai penyakit masyarakat.
Seorang bertingkah laku karena adanya rangsangan atau stimulus dari lura dirinya. Rangsangan-rangsangan itu dapat diperoleh dari lingkungan yang ada disekitar individu. Unsur individu dan lingkungannya akan membuka dimensi lebih luas dalam rangka membahas tingkah laku individu.
Konsep lingkungan diatas memperlihatkan adanya lingkungan fisik seperti orang tua, kawan bermain dan masyarakat sekitarnya, dapat mempengaruhi perilaku seseorang (dalam bertindak dan beraktivitas). Dan dengan adanya factor lingkungan seseorang sengaja maupun tidak seseorang akan meniru lingkungan ia berada.
Tidak semua lingkungan dapat dnegan sendirinya merangsang individu untuk mereaksikan serta memanfaatkannya sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing individu dengan bermacam-macam tingkah laku, manusia berhubungan atau bergaul dengan lingkungannya. Perkataan berhubungan disini diartikan sebagai hubungan yang aktif antara individu dan lingkungan. Begitu juga masalah-masalah dan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan semua ini memberikan perangsang pada diri kita untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Masalah lalu lintas dapat disebabkan oleh berbagai factor dan yang terpenting adalah factor manusia sebagai pemakai jalan, baik sebagai pengemudi maupun sebagai pemakai jalan pada umumnya. Sedangkan disiplin dan kesadaran hukum masayarakat pemakai jalan masih belum dapat dikatakan baik, belum memiliki kepatuhan, ketaatan untuk mengikuti perundang-undangan /hukum yang berlaku.
Tingkat kesadaran hukum masyarakat pemakai jalan dapat diukur dari kemampuan dan daya serap tiap individu dan bagaimana penerapannya di jalan raya (Naning, 1982:12). Berfungsinya hukum secara efektif terantung dari kondisi perundang-undangan lalu lintas yang berlaku, kemampuan aparat penegakkan hukum dalam melakukan penindakan-penindakan, fasilitas-fasilitas alu lintas yang disediakan dan kondisi masyarakat pemakai jalan. Apabila hal-hal tersebut dinilai baik, maka hukum sebagaimana dimaksud dapat berfungsi secara efektif dan efesien, sehingga lingkup penugasan yang diberikan dapat terjangkau secara memadai.
Etika Dalam Berkendaraan
Etika adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma itu. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok (Salam, 2007:1).
Pengertian etika dari ilmuan lainnya yaitu Magnis Suseno dalam salam (2007:1) bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut. Atau bisa juga dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejewantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan kemana kita harus melangkah dalam hidup ini.
Tujuan dan fungsi dari etika sosial pada dasrnya adalah untuk menggugah kesadaran kita akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala dimensinya. Etika sosial mau mengajak kita untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dan bertindak dalam kerangka kepentingan kita saja, melainkan juga mempedulikan kepentingan bersama yaitu kesejahteraan dan kebahagian bersama.
Hukum etika dan hukum negara saling mengisi. Hukum negara akan dirasakan kaku dan kasar ditangan penegak hukum yang tidak mengenal hukum etika yang tidak mengenal hukum etika, apalagi yang tidak beretika. Hukum etika tidak mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak didampingi oleh hukum negara, sebab tidak semua orang suka tunduk kepada peringatan hati nurani atau bisikan jiwanya sendiri. Dengan memenuhi kedua jenis hukum ini, diharapkan terciptanya tertib hukum dalam pergaulan hidup bersama.
Selanjutnya sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Pengetahuan, Pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan yang penting dalam menentukan sikap yang utuh. Agar sikap agar menajdi suatu perbuatan yang nyata maka diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, seperti fasilitas dan dukungan (Notoatmojo, 2003)
Tindakan atau perilaku terdiri: (1) persepsi, mengenal dan memilih berbagai objek dalam kaitannya dengan tindakan yang akan dilakukan, (2) respon terpimpin, yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar (3) mekanisme, dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis serta sudah berupa kebiasaan (4) Adopsi, tindakan yang sudah berkembang dengan baik, sudah berkembang dengan baik, sudah dimodifikasi tanpa megurangi kebenaran tindakan (Notoatmodjo, 2003)
Tidak dapat dipungkiri kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 sering membuat masyarakat seakan berparadigma bahwa undang-undang tersebut dibuat hanya sebagai ajang untuk para penegak hukum dimana dalam hal ini adalah polantas untuk mencari uang padahal namanya hukum dibuat untuk mengatur umat manusia.
Siap tidak siap, mau tidak mau masyarakat dihadapkan dengan peraturan yang memaksa sehingga masyarakat yang dulunya masih enggan menggunakan helm sekarang diwajibkan untuk memakai helm standar nasional. Aturan dibuat tidak lain untuk kepentingan manusia, hanya saja masyarakat kurang memahami sepertia apa isi dan maksud dari Undang-undang tersebut. Hukum dapat berjalan dengan baik jika tiga hal tersebut berjalan dengan baik pula, 1. Aturan (Undang-undang),2. Aparat, 3. Masyarakat. Jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan dengan baik, maka jangan harap hukum yang dicita-citakan akan terwujud.
Seringkali masyarakat mencap oknum polisi jelek hanya karena melakukan tugasnya, padahal kalau kita lihat yang sebenarnya polisi tidak akan memberhentikan atau menilang kita tanpa adanya pelanggaran terlebih dahulu yang dilakukan kita, sering kali kita juga berburu-buru sehingga sering mengakibatkan kerugian bagi diri kita maupun orang lain.
Dari hasil observasi dilapangan ada beberapa alas an mengapa masyarakat enggan untuk menggunakan helm saat mengendarai kendaraan roda dua diantaranya adalah: karena jarak dekat, Tidak adanya petugas polisi, panas, dan merusak tatanan rambut dari beberapa alas an diatas yang paling banyak adalah karena tidak adanya polisi atau petugas dilapangan dan hal ini terlihat bahwa masyarkat tidak menggunakan helm karena tidak adanya petugas dan yang ditakuti oleh masyarakat adalah petugasnya dan terkadang ada pula anggapan bahwa petugas bisa disogok dengan uang damai dan inilah yang menjadi masyarakat tidak takut untuk tidak menggunakan helm dalam berkendaraan roda dua. Penerapan hukum dan sanksi dari Undang-undang No 22 Tahun 2009 ini dilapangan belum diterapkan dengan baik sehingga ada efek jerah bagi masyarakat yang tidak menggunakan helm, maka akan dapat sanksi yang sesuai dengan aturan tersebut sehingga masyarakat akan menajdi sadar bila ada sanksi yang diterapkan dan seringnya sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat penggunaan helm, sehingga masyarakat sadar bahwa helm itu banyak gunanya karena selain untuk menyelamatkan kepala dari cedera berat helm juga melindungi diri bagi si pengguna kendaraan roda dua tersebut.
Perilaku ada proses interaksi individu dengan lingkungan dalam hal ini penggunaan helm juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar bila dilingkungan masyarakat yang memiliki kendaraan roda dua tidak menggunakan helm, maka biasanya masyarakat sekitarpun biasanya akan mempengaruhi dari pola penggunaan helm tersebut dan hal ini akan menjadikan masyarakat akan menjadikan kebiasaan yang ini dianggap benar dan bukan membiasakan hal yang benar.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan kesadaran dalam menggunakan helm ini dan hal ini sudah barang tentu masyarakat yang lebih berpendidikan atau berpengetahuan seyogya nyalah lebih baik dalam mengambil sikap karena mereka tahu manfaat penggunaan helm untuk keselamatannya dalam mengendarai kendaraan roda dua agar supaya tidak cidera lebih parah terutama pada bagian kepala yang bisa berakibat pada kematian bagi penggendara bila terjadi kecelakaan. Pengetahuan ini seharusnya dapat merubah perilaku yang mana perubahan perilaku sebagai suatu konsep dapat terjadi secara terencana dan menetap melalui kerangka perubahan dimensinya secara bertahap, , yaitu mulai perubahan pengetahuan sebagai immediate impact, upaya mengubah sikap sebagai intermediate impact dan kemudian upaya mengubah tindakan atau perilaku sebagai Longterm impact (Green, Lawrence W & Francess Marcus Lewis, 1986).
Penggunaan helm bagi pengendara terutama kendaraan roda dua yang sudah dituangkan dalam bentuk aturan dalam sebuah Undang-Undang No.22 Tahun 2009 yang didalamnya mengatur aturan dalam penggunaan helm dan sanksi yang didapatkan bila tidak menggunakan helm ini dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan manfaat yang sebetulnya sangat besar bagi masyarakat dan hal ini yang menjadikan masyarakat malas mengunakan helm da nada stigma dalam masyarakat bahwa bila ditilang dapat dibayar dengan sejumlah uang tertentu agar damai dan seharusnya kerjasama antara kebijakan yang ada dengan operasional dilapangan dapat berjalan dengan baik sehingga aturan ini dapat dijalankan dengan baik dan menumbuhkan nilai kesadaran bagi masyarakat dalam menggunakan helm adalah untuk mereka sendiri, bila terjadi kecelakaan dapat terhindar dari kematian.
Penulis : Dr. Hamirul
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo