TAGAR 2019 GANTI PRESIDEN, MAKARKAH..?

SUARA ARTIKEL – Makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan atau “aanval” yang berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige aanranding). Makar juga diartikan sebagai akal busuk, tipu muslihat, perbuatan dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang atau perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Menurut Mudzakir (2018) “makar adalah suatu tindakan yang membuat pemerintah tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai undang-undang”.

Di Indonesia muncul perdebatan tentang tafsir terhadap tindak pidana makar yang diatur dalam beberapa pasal KUHP. Perdebatan tentang penafsiran tindak pidana makar tidak hanya berlangsung di dunia akademik, tetapi juga di kalangan penegak hukum, dan di kalangan organisasi masyarakat sipil yang aktif menyuarakan hak asasi manusia. Acapkali delik makar digunakan untuk membungkam lawan-lawan politik yang bersebrangan dengan rezim yang berkuasa. Selain itu, delik makar juga digunakan untuk memukul gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehubungan dengan itu, memasuki tahun politik, apalagi semakin dekat bangsa Indonesia menghadapi pesta demokrasi pemilihan umum presiden pada 17 April 2019 mendatang, gesekan-gesekan semakin tampak baik di kalangan elit politik maupun di kalangan pendukung di bawah. Para pendukung calon presiden dari kedua kubu baik Jokowi Ma’ruf maupun Prabowo Sandi seolah ingin menunjukkan ke publik bahwa calon yang mereka dukunglah yang terbaik sebagai presiden. Walaupun belum memasuki masa kampanye namun upaya-upaya nyata sebagai bentuk dukungan dan upaya persuasif terhadap masyarakat sudah mulai ditunjukan misalnya dari kubu petahana dengan menampilkan prestasi-prestasi dan capaian yang sudah dilakukan selama menjadi presiden melalui pemberitaan di televisi maupun media cetak dan media sosial.

Sebaliknya, di kubu penantang menyerang dari kelemahan-kelemahan kubu petahana yang disertai data kuantitatif dan analisis untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.
Bahkan relawan kedua kubu sudah memiliki hastag atau tagar, dari kubu petahana dengan tagar “#2019TetapJokowi” sedangkan dari kubu penantang dengan tagar “#2019GantiPresiden”. Yang menjadi permasalahan belakangan seolah tagar 2019 ganti presiden dianggap perbuatan makar sebagaimana yang disampaikan oleh Tenaga ahli staf kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin yang mengatakan “gerakan 2019 ganti presiden merupakan sebuah rencana jahat untuk menggulingkan presiden Jokowi” (tribunnews.com rabu 29 Agustus 2018) sedangkan tagar 2019 tetap Jokowi tidak dipermasalahkan. Dari sudut pandang politik dapat dilihat bahwa ini merupakan upaya pemerintah yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengkriminalkan orang-orang yang membawa tagar 2019 ganti presiden karena dianggap sebagai ancaman sedangkan tagar 2019 tetap Jokowi tidak dipermasalahkan karena dianggap menguntungkan petahana.

Padahal, jika dikaji dari sudut pandang demokrasi di negara hukum Indonesia, baik tagar 2019 tetap Jokowi maupun tagar 2019 ganti presiden memiliki kedudukan yang sama, yaitu sama-sama wujud kebebasan menyampaikan pendapat.
Secara filosofis, kebebasan menyampaikan pendapat adalah termasuk amanat sila ke dua pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” karena kebebasan berpendapat merupakan hak setiap orang tanpa terkecuali yang harus diberikan secara adil selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Secara yuridis, hal ini sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) UUD RI 1945 yang menentukan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pendapat pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya, dalam Pasal 28E ayat (3) UUD RI 1945 juga diatur bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Hal ini dipertegas lagi melalui pengaturan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Berpendapat di Muka Umum yang mengatur secara eksplisit bahwa “kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengaturan mengenai perbuatan makar secara spesifik dapat dilihat dalam bab I buku II KUHP perbuatan makar ada lima bentuk yang diatur dalam Pasal 104, 106 dan 107, 108 dan 110 KUHP yaitu :

1. Menyerang keamanan presiden atau wakilnya.
Bentuk kejahatan makar yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan negara yaitu menyerang keamanan presiden atau wakilnya diatur dalam Pasal 104 KUHP yang menentukan bahwa “makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden menjalankan pemerintahan, diamcam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
2. Menyerang keamanan dan Keutuhan wilayah negara.
Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini adalah juga berupa kejahatan makar, kejahatan makar yang dimaksud dirumuskan dalam Pasal 106 KUHP yang mengatur “makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
3. Menyerang kepentingan hukum tegaknya pemerintahan negara
Makar yang dimaksud di sini tidak dengan perbuatan dengan kekerasan menggunakan senjata yang diatur dalam Pasal 107 KUHP yaitu “(1) makar dengan maksud untuk menngulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; (2) para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
4. Melakukan pemberontakan terhadap negara.
Kejahatan ini dirumuskan dalam Pasal 108 ayat 1 dan 2 KUHP yaitu “(1) salah karena memberontak dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun penjara; (2) pemimpin atau pengatur pemberontakan dihukum penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara”.
5. Melakukan pemufakatan jahat
Ketentuan ini terdapat dalam pasal 110 KUHP yaitu “(1) Pemufakatan akan melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 104, 106, 107 dan 108 dihukum sama dengan kejahatan itu; (2) hukuman itu juga berlaku bagi orang yang dengan maksud akan menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal 104, 106, 107 dan 108”.

Dari pasal-pasal di atas dapat dilihat bahwa dalam pasal 104 memiliki esensi yaitu makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden. Lalu dalam pasal 106 berintikan makar dengan maksud memisahkan diri dari Indonesia, selanjutnya dalam pasal 107 berisikan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, pasal 108 berintikan pemberontakan dan terakhir pada pasal 110 yaitu tentang pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, pasal 106, 107 dan pasal 108.

Dalam KUHP makar yang dimaksud adalah anslaag yang artinya serangan atau violence attack atau suatu rencana jahat yang harus dikaitkan dengan rumusan norma lain, yaitu pasal 87 KUHP. Sebagai suatu serangan dipersyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku makar telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. Artinya, pasal-pasal terkait makar yang disebutkan di atas mensyaratkan adanya suatu perbuatan aktif berupa niat dan permulaan pelaksanaan, dan tentunya permulaan pelaksanaan dimaksud untuk suatu perbuatan yang melawan hukum.

Dikaji dari uraian di atas, penulis menilai tagar 2019 ganti presiden bukanlah termasuk serangan yang ditujukan untuk meruntuhkan atau menggulingkan pemerintahan, melainkan hanya sebatas bentuk ungkapan yang tidak termasuk perbuatan pidana karena tidak memenuhi unsur-unsur yang disebutkan sebelumnya.

Hal ini dapat dilihat dalam tiga hal sebagai berikut pertama, secara objektif apa yang dilakukan oleh relawan ganti presiden tidaklah mendekatkan kepada delik yang dituju, yaitu delik makar. Dengan kata lain, tidak ada mengandung indikasi atau potensi untuk tindak pidana makar sebagaimana diatur dalam KUHP; Kedua, ditinjau secara subjektif yaitu dipandang dari niat, tagar 2019 ganti presiden yang diwacanakan oleh relawan ganti presiden sesuai dengan misinya yaitu sebatas ungkapan harapan dalam ranah demokrasi, sehingga tidak ada kesengajaan dengan maksud bahwa apa yang dilakukan itu ditujukan pada delik makar; Ketiga, kegiatan yang dilakukan oleh relawan ganti presiden bukanlah termasuk suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan oleh karenanya bukanlah suatu perbuatan pidana.

Selain analisis yuridis di atas, anggapan bahwa tagar 2019 ganti presiden dianggap makar lebih condong kepada penilaian subjektif dari penguasa atau setidaknya para pendukungnya karena tagar tersebut dianggap mengancam dan dapat mempengaruhi elektabilitasnya. Untuk itu tagar 2019 ganti presiden ditafsirkan sebagai perbuatan makar yang dipaksakan penegakannya melalui alat-alat penegak hukum dengan kekuasaan yang dimiliki. Sehubungan dengan hal tersebut Erdianto Effendi (2016) mengatakan “dalam praktek pasal-pasal KUHP yang terkait dengan tindak pidana makar sering diterapkan terhadap banyak peristiwa yang sangat bergantung pada bagaimana tafsir penegak hukum dan pemerintah atas suatu peristiwa, karena KUHP tidak menjelaskan secara eksplisit tentang apa yang dimaksud dengan makar, ketentuan dalam pasal 104, 106 dan 107, 108 dan 110 langsung menyebut makar tanpa ada pengertiannya”. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan tidak satupun unsur dalam tagar 2019 ganti presiden melanggar undang-undang. Bahkan tagar 2019 ganti presiden adalah konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 22 E UUD RI 1945 menegaskan bahwa “pemilu diselenggarakan setiap lima tahun untuk memilih salah satunya presiden dan wakil presiden”.

Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2019 tepat lima tahun pemerintahan Jokowi dan akan dilakukan pemilihan umum presiden. Artinya secara konstitusional pada tahun 2019 memang ada peluang pergantian presiden dan keinginan kelompok masyarakat untuk memilih presiden yang baru pada tahun tersebut tidak boleh dihalangi karena telah sesuai dengan konstitusi. Selanjutnya, mereka menggelorakan semangat 2019 ganti presiden untuk mewujudkan Indonesia yang lebih berdaulat, bermartabat, adil dan makmur, dan berakhlak mulia harus dihormati sebagai wujud implementasi kemerdekaan menyatakan pendapat untuk menyuarakan keprihatinan atas kemiskinan, ketidak adilan, ketidak berpihakan dan ancaman terhadap kedaulatan serta krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini di Indonesia.

Mereka yang menyatakan bahwa gerakan 2019 ganti presiden sebagai gerakan makar untuk menggulingkan pemerintah adalah pendapat yang berlebihan karena kalau dipahami kata-kata yang terdapat dalam tagar atau hastag ini adalah menyampaikan keinginan di pesta demokrasi 5 tahunan (pilpres 2019) akan terpilih presiden baru bukan gerakan yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah karena pada tahun 2019 memang akan ada pemilihan presiden, artinya bisa diganti bisa tidak. Hal ini menjadi salah kalau dikatakan 2018 ganti presiden.

Sejalan dengan hal di atas menurut ketua Bawaslu Abhan “gerakan 2019 ganti presiden tidak melanggar aturan karena tidak ada aturan khusus yang mengatur mengenai hal tersebut”. Hal serupa disampaikan ketua KPU Arief Budiman menurutnya “jika memang tagar atau hastag tersebut masuk dalam kategori kampanye, semestinya sudah diatur di dalam PKPU kampanye”. (lawjustice.com 14 September 2018) Untuk memperkuat pendapat tersebut pengamat politik Indonesian Politic Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan “bahwa gerakan 2019 ganti presiden adalah gerakan kontitusional, menurutnya itu adalah gerakan kreatif karena sosialisasi tersebut dilakukan dengan cara membuat kaos, gelang dll dan terbukti viral di media sosial”.

(kiblat.net, 14 september 2018) Pakar hukum tata negara Mahfud MD (dikutip dari Tvone) pun mengatakan “bahwa deklarasi 2019 ganti presiden tidak ada pelanggaran hukum, yang melanggar hukum justru mereka yang melakukan persekusi terhadap orang-orang yang melakukan deklarasi”. Lebih lanjut Mahfud MD (dikutip dari Tvone) mengatakan“dalam KUHP ada 3 hal yang disebut sebagai makar. Pertama, melakukan perampasan kemerdekaan terhadap presiden dan wakil presiden seperti sandera dan diculik; kedua, pemufakatan jahat untuk menyandera, merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden sehingga pemerintahan lumpuh; ketiga, gerakan mengganti ideologi negara”.

Artinya tagar 2019 ganti presiden tidak ada unsur makar di dalamnya. Gerakan itu hanya menciptakan suasana panas para pendukung di bawah. Memaksa-maksa orang buka baju, kaos, mendorong-dorong, melempar helm itulah perbuatan melanggar hukum. Dari uraian di atas, penulis berharap tidak ada lagi anggapan bahkan aksi aparatur penegak hukum yang mengatakan tagar 2019 ganti presiden adalah perbuatan makar.

Masing-masing relawan dengan tagarnya baik “2019TetapJokowi” maupun “2019GantiPresiden” harus kita hormati sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat dalam konteks negara demokrasi Indonesia yang dapat memberikan edukasi politik kepada masyarakat sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan calon presiden dan wakil pada pemilihan umum 19 April 2019 mendatang selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agar situasi politik jelang pemilihan presiden di Indonesia tetap harmonis, dan dapat diminimalisir gesekan-gesekan yang terjadi yang pada akhirnya membawa bangsa Indonesia menjalani pesta demokrasi secara dewasa damai dan adil demi satu tujuan mendapatkan pemimpin terbaik demi kemajuan negara Indonesia.

Penulis : Nanang Al Hidayat, S.H., M.H.
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo