SUARA ARTIKEL – Maraknya peristiwa yang mendera bangsa kita saat ini pun sudah merambah para golongan elit sehingga meningkat pula kriminalitas, tingginya kasus korupsi, dan penegakkan hukum yang sepertinya masih jauh dari harapan nilai keadilan. Kejadian tersebut memberi kesan seakan-akan bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan. Peristiwa demi peristiwa seperti kasus korupsi mega proyek e-KTP adalah peristiwa yang menunjukkan segelintir sebuah kegagalan dalam bidang pendidikan.
Dewasa ini dalam masyarakat yang cepat berubah, pendidikan karakter bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang buruk dan dianggapnya baik dan begitu pula sebaliknya. pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat tersebut akan terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin kan menjadi luhur dan digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat. Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah.
Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. Oleh sebab itu, system nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang mengangap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. Dengan demikian, sikap seseorang sangat bergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Dunia pendidikan saat ini masih menampung banyak masalah. program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan. Jumlah anak usia pendidikan dasar yang berada di luar sistem. Pendidikan nasional masih sangat besar. . Kualitas pendidikan pun masih relatif rendah. Dipihak lain, tantangan diberbagai bidang kehidupan semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Khususnya dibidang informasi, komunikasi, dan transportasi sangat pesat, eskalasi pasar bebas antara negara dan bangsa semakin meningkat, dan iklim kompetisi diberbagai aspek kehidupan semakin ketat. Masih banyak lagi masalah lain yang memerlukan penyelesaian seperti demokratisasi, hak asasi manusia, serta penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan terbuka.
Pada hakikatnya pendidikan merupakan tanggung jawab setiap anggota masyarakat, bangsa dan negara dlam rangka pembentukan generasi baru untuk kelangsungan umat manusia yang lebih baik. Sukmadinata (2006:58-59) menjelaskan bahwa terdapat tiga sifat penting dari pendidikan, yakni:” (1) pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai, (2) pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat, (3) pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat”. Kemudian Gunawan (2000:54-55) menyatakan bahwa” Pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan”. Nilai-nilai yang harus diwariskan kepada anak tentunya nilai-nilai yang selaras dengan kepentingan masyarakat, bangsa ( nasional), dan negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dewantara (1962:14) yang mengartikan pendidikan pendidikan sebagai” upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Sementara itu makna pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal1 adalah” Usaha sadar dan terencana untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, serta keterampilan”. Disebutkan juga bahwa pendidikan nasional adalah” Pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia.
Konsep sosialisasi dalam ilmu sosial memiliki banyak definisi. Hal ini disebabkan karena beberapa disiplin ilmu sosial seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Ilmu politik menetapkan bahwa sosialisasi dianggap sebagai proses utama dalam perkembangan individu. Namun menurut Borgatta ( 1992: 1863) terdapat titik kesamaan, yaitu “ Socialization refers to the process of interaction through which an individual acquires the norms, Values, beliefs, attitudes, dan language characteristics of his or her groups”. Pada umumnya sosialisasi berhubungan dengan proses interaksi dimana seseorang individu mendapatkan norma, nilai, keyakinan, sikap dan bahasa dalam kelompoknya. Sosialisasi secara sederhana meliputi isi proses, cara, dan agen sebagai unsur-unsur yang bekerja dalam suatu sistem sosial, baik itu sebagai kelompok, keluarga, maupun masyarakat luas. Parson (1995:232) menyatakan bahwa” Sosialisasi itu digunakan dalam pengertian yang lebih luas dan menunjuk pada proses belajar orientasi-orientasi yang bermakna fungsional bagi berjalannya suatu sistem peran yang komplementer”. Parson memiliki pandangan yang jelas tentang tingkatan analisis sosial pada setiap tingkatan sistem tindakannya. tingkatan analisisnya bersifat hierarkis dan integratif melalui dua cara.” pertama, tingkat yang lebih rendah menyediakan kondisi yang diperlukan untuk tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya” (Ritzer, 2005: 122-123).
“ Hubungannya bersifat timbal balik dengan saling menukar informasi dn energi yang diberi nama hierarki sibernetis (cybernetic hierarchy)” ( Soekanto, 2002:423). Proses pewarisan nilai tradisi melalui mekanisme sibernetik tahapannya meliputi: Institusionlaisasi, sosialisasi, internalisasi,dan control yang berlangsung dalam suatu sistem.
Pada hakikatnya, pendidikan karakter merupakan suatu sistem pendidikan yang berupaya menanamkan nilai-nilai luhur kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter disekolah, semua komponen sekolah harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/ lingkungan. Dalam pendidikan karakter dan budaya bangsa ini, segala sesuatu yang dilakukan guru harus mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Sebagai pembentuk watak peserta didik, guru harus menunjukkan keteladanan. Segala hal tentang perilaku guru hendaknya menjadi contoh bagi peserta didik. Misalnya cara guru berbicara atau menyampaikan materi, cara guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Tujuanya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan pada nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam konteks pendidikan adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal ( bersifat absolut) yang disebut sebagai kaidah emas ( the golden rule). Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar sebagaimana diungkapkan diatas. Penyelenggaraan pendidikan karakter disekolah harus berpijak pada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi ( yang bersifat tidak absolut atau bersifat relative) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri (Sudrajad, 2010).
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntunan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan, dikota-kota besar tertentu telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun, juga terdapat perbedaan pendapat diantaranya mengenai pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisonal, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia ( kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural ( dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: olah hati ( spiritual and emotional development), Olah pikir ( Intellectual development), olah raga dan kinestetik ( Physical and kinesthetic development), dan Olah rasa dan karsa ( affective and creativity development).
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,sikap, perasaaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya dan adat istiadat.
Menurut Foester ( Koesoema,2010), terdapat empat ciri dasar dalam pedidikan karakter. Keempat ciri tersebut sebagai berikut.
1) Pertama adalah keteraturan interior. Setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normative dalam setiap tindakan.
2) Kedua adalah koherensi yang memberi keberanian, membuat seorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama alin. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3) Ketiga adalah otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi, tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
4) keempat adalah keteguhan dan kesetiaan. keteguhan merupakan daya tahan seseorang pada suatu hal yang dipandang baik dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. Orang-orag modern sering mencampuradukkan antara individualistis dan personalitas, anatara aku alami dan aku rohani, antara independesi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan performasi seorang pribadi dalam segala tindakannya
Dari hasil penelitian ( Hamirul, Dedi Epriadi: 2017) dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada tiga fungsi dari bapak angkat dalam proses pernikahan adat di tanah tumbuh pelayang dan jambi pada umumnya adalah sebagai penengah yaitu sebagai pihak yang akan menengahi dalam berbagai urusan yang berkaitan dengan kedua belah pihak apabila terjadi sesuatu terhadap kedua mempelai, sebagai pendamai disini fungsi bapak angkat adalah yang akan ikut membantu mendamaikan apabila terjadi suatu perselisihan diantara kedua belah pihak dan yang terakhir sebagai pemersatu dalam hal ini dalam prosesi awal pernikahan bapak angkat mempersatukan kedua mempelai dan termasuk juga bila nanti terjadi perpisahan ataupun perceraian, maka bapak angkat yang berperan sebagai pemersatu bagi kedua mempelai.
Budaya lokal dalam hal ini adalah daerah Tanah Tumbuh Desa Pelayang dalam prosesi pengangkatan bapak angkat ini adalah suatu unsur-unsur kebudayaan yang sudah terpola yang mampu bertahan turun temurun dan ada nilai luhur yang ditanamkan kepeda generasi penerusnya seperti ada ungkapan yang dikemukan salah satu datuk yang ketika diwawancarai menyatakan”.. Sarah mengato, adat memakai” filosopi inilah yang menjadi pegangan dalam proses pengangkatan bapak angkat dalam pernikahan adat di tanah tumbuh desa pelayang dan hal ini berlangsung terus menerus setiap terjadinya proses pernikahan yang berbeda dusun, maka proses ini harus dilakukan dan hal-hal positif dari prosesi ini akan tetap bertahan selama tidak bertentang dengan agama, maka tradisi ini akan tetap dipertahankan dan akan selalu dipergunakan setiap terjadinya pernikahan yang berbeda dusun atau bahkan berbeda daerah.
Dari hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prosesi pengangkatan bapak angkat dalam pernikahan berbeda dusun mempunyai tujuan antara lain: penengah, penghubung dan pemersatu agar pernikahan yang terjadi dapat dipertanggung jawabkan diantara kedua mempelai. Dalam pendidikan karakter budaya lokal prosesi pengangkatan bapak angkat ini harus dimaknai dengan nilai yang dapat diwariskan dan sebagai bentuk tanggung jawab atas sebuah pernikahan yang sakral dan hal ini akan menjadikan peserta didik dapat memahami nilai kearifan lokal yang ada dalam budaya disekitarnya dan dapat di wariskan secara turun menurun dan di ajarkan dalam bangku persekolahan sehingga tetap lestari.
Penulis : Dr. Hamirul
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo