Mengkritisi Undang-Undang ITE Dilihat dari Sisi Sosio-Politik

SUARA ARTIKEL – Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.

Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.

Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Untuk itu diperlukan suatu perangkat Undang-Undang yang dapat mengatasi masalah ini seperti yang sekarang telah adanya perangkat hukum yang satu ini berhasil disahkan melalui kebijakan hukum pidana, yaitu Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan Undang-Undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana cyber. Berdasarkan Surat Presiden RI.No.R./70/Pres/9/2005 tanggal 5 September 2005, naskah Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik secara resmi disampaikan kepada DPR RI pada tanggal 21 April 2008, Undang-undang ini di sahkan.

Undang-Undang ITE yang diberlakukan sejak April 2008 lalu ini memang merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat hukum. Karena sifatnya yang berisi aturan main didunia maya, Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik ini juga dikenal sebagai Cyber Law.

Sebagaimana layaknya Cyber Law di negara-negara lain, Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik ini juga bersifat ekstraterritorial, jadi tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Dalam perkembangannya, UU ITE mengalami perubahan terhadap beberapa pasal serta penambahan yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi transaksi elektronik perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 2008, yang mana terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi, pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.

Baca Juga :  Pimpinan dan Bapemperda DPRD Sungai Penuh Terima Kunjungan DPRD Batanghari

Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan membahayakan pengguna media elektronik, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang tanpa dia sadari. Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU ITE.

UU ITE sebenarnya lahir untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan digital dan pencurian data di internet. Sayangnya, implementasi UU ini banyak mengalami pergeseran fungsi. UU ITE justru kini menjadi salah satu momok yang menakutkan terutama berkaitan dengan kebebasan dalam berdemokrasi atau berpendapat di dunia maya/internet.

Dalam implementasinya UU ITE ini ternyata memberikan dampak negative pada demokrasi di Indonesia. Sejak pemberlakuannya, muncul kasus-kasus pembungkaman kebebasan berpendapat di internet yang dijerat dengan UU ITE. Inilah yang membuat publik merasa gundah salah satu penyebab rendahnya Index Democracy Indonesia karena banyaknya kasus pembungkaman kebebasan berpendapat.(tirto.id/ 19/6/2020).

Dikutip dari SIMPOSIUM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA, menyatakan sebagai berikut : Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauhmana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.(Ismansyah:2019).

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri dapat ditinjau dari aspek sosio-politik terhadap kelemahan undang-undang tersebut.

Kejahatan dunia mayantara “virtual crime” atau cyber crime sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1983 dengan cara menyalahgunakan komputer. Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pengertian kejahatan yang berhubungan dengan komputer sama dengan cyber crime. Secara terminologis, kejahatan yang berbasis pada teknologi informasi dengan menggunakan media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer related-crime, computer assisted crime, atau computer crime. Namun demikian, setiap negara belum tentu sama dalam menggunkan istilah tersebut, bahkan tidak konsisten.(Widodo:2013)

Baca Juga :  Peluang Menulis Libur Sekolah Karena Corona

Ruang Lingkup Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Transaksi Elektronik Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008. Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya.(Arief Mansyur dkk:2005) Kemudain tujuan dibentuknya Undang-Undang ITE adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia, mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan efektivitas dan pelayanan public, membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab, memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. berikut beberapa bentuk tindak pidana dalam Undang-Undang ITE.

Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu: Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari: Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1) UU ITE), Perjudian (Pasal 27 ayat (2) UU ITE), Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE), Pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4) UU ITE), Berita Bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1) UU ITE), Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2) UU ITE), Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE), dengan cara apapun melakukan akses illegal (Pasal 30 UU ITE), intersepsi atau penyadapan illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE)
Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE), Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference –Pasal 33 UU ITE), Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE), Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE), Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Transaksi Elektronik perubahan atas undang-undang 11 tahun 2008 dilihat dari Segi Sosio-Politik. Perkembangan Undang-Undang ITE sejatinya sangat pesat, sejak berlakunya Undang-Undang ITE kurun waktu 12 Undang-Undang ITE mengalami satu kali perubahan dari segi subtansi, diharapkan Undang-Undang ITE dalam formulatif dan aplikatif yang diterapkan akan menjadikan Indonesia lebih baik kedepannya sehingga perlindungan masyarakat dari kejahatan cyber crime dapat terlaksana dengan baik.

Baca Juga :  Pemilik Resto Orang Agam Tak Mengindahkan Himbauan Kadis DKUMPP Merangin

Namun dalam kenyataannya Undang-Undang ITE ini justru menjadi senjata untuk meredam kebebasan berpendapat khususnya dalam dunia maya, hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari kehidupan berdemokrasi yang mana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan “Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya, Undang-Undang ITE dianggap sebagai undang-undang yang meredam orang berpendapat dalam dunia maya, berikut kasus belakangan ini yang menjadi korban akibat berlakuknya Undang-Undang ITE ini diantaranya:

Jerinx SID pada hari ini, Kamis (19/11/2020) dijatuhi vonis hukuman 1 tahun 2 bulan atas kasus ujaran kebencian terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Vonis hukuman tersebut akibat dari postingannya dimedia sosial, Berikut postingan lengkap Jerinx di Instagram pada 13 Juni 2020 lalu: “Gara-gara bangga jadi kacung WHO IDI dan rumah sakit mewajibkan semua orang yang melahirkan dites Covid-19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi/ibu, siapa yang tanggung jawab?” (tirto.id/19-11-2020). Dilhat dari postingan Jerinx SID bentuk ungkapan kritik terkait dengan prosedur yang mewajibkan ibu yang hendak melahirkan untuk dites Covid-19.

Kemudian Seorang Ibu dua anak itu dijerat pasal pencemaran nama baik gara-gara mengeluhkan pelayanan Rumah sakit. Pada mulanya dia dirawat di rumah sakit itu karena didiagnosis kena demam berdarah. Karena tak kunjung sembuh, kemudian dia pindah ke rumah sakit lain dan sembuh. Atas dasar pengalaman tersebut, dia pun curhat melalui surat elektronik ke teman dekatnya. Tapi entah kenapa surat bertajuk “RS OMNI Dapatkan Pasien Dari Hasil Lab Fiktif” itu lantas menyebar di media sosial. RS OMNI tak terima dan melaporkan Ibu dua anak tersebut ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.(detik.com/13/12/2020).

Penulis mengharapkan dari kasus diatas sayognyaya penerapan Undang-Undang ITE harus melihat kemanfaatan didalam masyarakat sebagai sosial control, bukan hanya sebagai alat untuk membungkam kebebasan berpendapat yang pada akhirnya masyarakat akan semakin takut untuk menyatakan pendapat di muka umum.

Penulis: M. Nanda Setiawan, S.H., M.H.
Akademisi, Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang

Komentar