KEKERASAN POLA ASUH ANAK DALAM KAJIAN TEORI THE INTEGRATED COGNITIVE ANTISOCIAL POTENTIAL (ICAP)

SUARA ARTIKEL – Di era global saat ini yang banyak menuntut perubahan dan semakin maraknya penggunaan tEknologi dalam kehidupan sehari-hari terkadang hubungan antara sesama manusia dan lingkungan sekitar menjadi berkurang dalam hal interaksi dan hal ini mengakibatkan berkurang rasa kepekaan terhadap lingkungan dan bahkan keluarga sendiri dari mulai hal yang paling mendasar diantaranya komunikasi, dimana dengan penggunaan teknologi yang semakin intens berakibat pada kurangnya komunikasi secara verbal antara masing-masing anggota keluarga dan hal ini berdampak pada rasa dan nilai yang ada didalam keluarga menjadi tidak berkembang oleh karena disebabkan oleh sibuk dengan penggunaan HP sehingga yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh.

Beberapa daerah yang dikunjungi oleh penulis dalam era yang serba digital ini berakibat pada bergesernya pola asuh terhadap anak dan hal ini berakibat berkurangnya rasa sayang dan perhatian yang dimiliki oleh orang tua terhadap anak dan bahkan sebaliknya antara anak terhadap orang tua dan hal ini berakibat pada hubungan timbal balik keduanya dan tentunya hal ini akan berakibat pada hubungan keduanya menjadi kurang baik sebagai contoh didaerah A yang ditemui oleh penulis ada suatu kasus dimana anak berani memukul orang tua sampai babak belur dan hal ini menjadi hal yang sangat ironis, dimana orang tua yang seharusnya dihormati dan disayangi malah menjadi korban kekerasan dari anak sendiri ataupun kekerasan yang dialami seorang anak yang diperoleh dari orang tuanya, hal ini tentu tidak bisa disalahkan dari penggunaan teknologi tadi, namun banyak hal yang menjadi faktor penyebab yang mengakibatkan anak melawan kepada orang tua, ataupun terjadi pelecehan orangtua terhadap anak dan hal ini menjadikan orang tua di zaman sekarang dalam hal mendidik anak lebih berat tantangannya, namun di era revolusi industrI 4.0 ini perlunya perhatian lebih dengan kondisi moral dan etika, baik di kalangan orang tua maupun dikalangan anak dan remaja, semua hal yang berkaitan dengan perilaku anak tentunya menajdi tanggung jawab orang tua dalam hal mendidik anak, namun apakah sepenuhnya salah orang tua atau pun anak bila terjadi permasalahan dalam diri anak dan orang tua, serta apakah latar belakang yang menjadi penyebab perilaku seperti ini terjadi dikalangan orang tua, anak maupun remaja?

The Integrated Cognitive Antisocial Potential (ICAP)
(Markum, putra, & Primadlhi, 2010) Teori Integrated Cognitive Anti Social Potencial (ICAP) diciptakan untuk menjelaskan perilaku criminal yang dilakukan oleh pria dengan status ekonomi dan sosial rendah. Namun dalam perkembangannya kemudian dimodifikasi untuk menjelaskan tindak kekerasan ( violence). kata integrated dalam teori ini mengacu pada penggabungan beberapa ide dari teori-teori lain, termasuk teori strain, control, labeling, dan rational choice approaches. konstruk utama teori ini adalah Antisocial Potential (AP) yang mengasumsikan bahwa perubahan dari antisocial Potential menjadi tindakan anti sosial dan kekerasan bergantung pada proses kognitif ( berpikir dan pengambilan keputusan) yang juga memperhitungkan kesempatan ( criminal opportunity) dan adanya korban ( victim).

Baca Juga :  Ini Kata Safrial Saat Lepas Atlit PABBSI Ikuti Uji Tanding

Yang dimaksud dengan AP adalah potensi melakukan tindakan anti sosial, termasuk tindakan kekerasan. AP terbagi dua, jangka panjang (long term) dan jangka pendek (short term). Masing-masing individu memiliki perbedaan dalam AP jangka panjang dan AP jangka pendek . Pada AP jangka panjang, faktor-faktor yang berpengaruh adalah impulsiveness, tekanan (strain), tokoh panutan (modeling) dan proses sosialisasi, dan pengalaman hidup. Sementara pada AP jangka pendek bergantung pada motivasi dan faktor situasional. Teori ICAP mengemukakan bahwa faktor keluarga, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan, akan berpengaruh terhadap potensi individu untuk melakukan kekerasan.

Motif utama yang dapat memberikan kekuatan (energizer) timbulnya AP jangka panjang yang tinggi adalah keinginan memiliki materi, status sosial dalam penjara kegembiraan dan kepuasan seksual. Akan tetapi, motivasi ini hanya akan mengakibatkan AP yang tinggi apabila metode anti sosial digunakan secara rutin untuk memenuhi keinginan individu yang bersangkutan.

Pola salah asuh pola asuh anak yang dilakukan oleh orang tua akan sangat mempengaruhi pola perilaku yang dilakukan oleh seorang anak menurut Megawangi (Latifah, 2008) menjelaskan ada beberapa kesalahan orang tua dalam mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak, sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu:

1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya
3. Bersikap kasar secara verbal, misalnya menyindir, mengecilkan anak dengan kata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit dan berikan hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan” good character” kepada anak.
Dampak yang ditimbulkan dari salah asuh seperti di atas, menurut Megawangi ( Latifah,2008) akan menghasilkan anak-anak kelak pada masa perkembangannya mempunyai kepribadian bermasalah atau mempunyai kecerdasan emosi rendah, seperti:

1. Anak menjadi acuh tak acuh, tidak butuh orang lain, dan tidak dapat menerima persahabatan. Karena Sejak kecil mengalami kemarahan, rasa tidak percaya, dan ganguan emosi negative lainnya. Ketika dewasa dia akan menolak dukungan, simpati, cinta dan respons positif lainnya dari orang disekitarnya. Ia kelihatan sangat mandiri, tetapi tidak hangat dan tidak disenangi oleh orang lain.
2. Secara emosional tidak responsive,dimana anak yang ditolak akan tidak mampu memberikan cinta kepada orang lain.
3. Berperilaku agresif, yaitu selalu ingin menyakiti orang baik secara verbal maupun fisik.
4. Menjadi Minder, merasa diri tidak berharga dan berguna.
5. Selalu berpandangan negatif pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya.
6. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat diprediksi oleh orang lain.
7. Keseimbangan antara perkembangan emosional dan intelektual. Dampak negative lainnya dapat berupa mogok belajar, dan bahkan dapat memicu kenakalan remaja, tawuran dan lainnya.
8. Orang tua yang tidak memberikan rasa aman dan terlalu menekan anak, akan membuat anak merasa tidak dekat, dan tidak menajdikan orang tuanya sebagai” role model” anak akan lebih percaya kepada “ peer group” nya sehingga mudah terpengaruh dengan pergaulan negatif.

Baca Juga :  EKSISTENSI PANCASILA DITENGAH REDUPNYA JATI DIRI BANGSA

Karakteristik keluarga Pendidikan orang tua diharapakan dapat berkontribusi dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai suami- istri maupun orang tua bagi anaknya. Dengan pendidikan yang semakin baik, maka akses terhadap pengetahuan tentang pengasuhan akan semakin baik. Kondisi ekonomi sebagai latar belakang keluarga penting dalam pengasuhan anak mengingat pada keluarga ekonomi rendah, kepala keluarga (Ayah) harus bekerja lebih keras, bahkan ibupun ikut bekerja mencari penghasilan tambahan agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Kondisi ini memungkinkan mood dan perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya terpengaruh (Conger &Elder,1994).

menurut Ali dan Asrori (2004), aspek ekonomi berpengaruh dalam kehidupan keluarga, karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman anak dari segi materi. Keluarga yang dapat memenuhi semua kebutuhan anak, secara mental berarti memenuhi kebutuhan perlindungan emosional anak. Secara emosional anak akan lebih stabil. Umur orang tua umumnya termasuk kelompok dewasa madya, yaitu antara 30-60 tahun (Turner &Helm 1991). Perbedaan usia yang relatif jauh antara usia orang tua dengan remaja (generatio gap) dapat terjadi perbedaan nilai, perilaku dan kebiasaan anatara kedua generasi).

Karakteristik Anak Karakteristik anak seperti jenis kelamin dan usia, meberikan reaksi yang berbeda terhadap pengasuhan. Dalam menghadapi anak laki-laki dan perempuan serta usia anak, praktek pengasuhan akan berbeda, karena pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan sosial anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa( 2001), perlakuan orang tua terhadap anak harus sesuai dengan tingkat kematangan anak, agar anak siap menerima apa yang orang tua ingin tanamkan, sehingga tetap tersimpan dan menjadi bagian dari kepribadiannya.

Kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah sebuah momen yang sangat membahagiakan bagi sebuah keluarga, namun terkadang kehadiran anak menjadi sebuah boomerang bagi kedua orang tua dan bahkan bagi seluruh keluarga, apabila anak yang hadir ditengah kelurga tidak mendapatkan asuhan dengan baik dan bertindak sebagai criminal yang biasanya terjadi pada model keluarga yang ada baik orang tua (ayah dan ibu) serta lingkungan keluarga yang memberikan contoh bagi mereka dalam bertindak dan hal ini disebabkan oleh kemampuan memori anak dalam menginggat sebuah peristiwa yang terjada dan dilihat oleh anak tersebut dan hal ini akan membekas dan dijadikan sebagai landasan perbuatan yang akan dilakukan dikelak kemudian hari yang akan sangat berdampak pada perkembangan kecerdasaaan emosionlanya dalam hal menilai suatu masalah dan mengakibatkan anak menjadi orang yang Antisocial Potencial Pada beberapa kasus yang terjadi pada pendahuluan diatas terlihat bahwa kriminalyang terjadi dan kasus pemukulan terhada kedua orang tuanya sendiri hanya karena disebabkan oleh karena hal sepele sampai terjadi pemukulan dimana sampai muka orang tuanya lebab dan bahkan terjadinya pencekikan terhadap ayahnya sendiri, hal ini tentunya disebabkan oleh pola asuh yang diberikan oleh orang tua yang biasanya menampilkan karakter kekerasan dalam rumah tangga dan hal ini menjadi model bagi seorang anak dalam bertindak danhal ini dianggap menjadi hal yang benar dan menjadi pembiasaaan dalam bertindak dengan kasar dan menjadi seorang yang tempramen.

Baca Juga :  Bergerak di Jambi Timur, Tim Insani Cerah Tampung Aspirasi Masyarakat

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Teori Integrated Cognitive Anti Social Potencial (ICAP) diciptakan untuk menjelaskan perilaku criminal yang dilakukan oleh pria dengan status ekonomi dan sosial rendah. Namun dalam perkembangannya kemudian dimodifikasi untuk menjelaskan tindak kekerasan ( violence) yang dilakukan oleh seorang anak disebabkan oleh pola asuh yang salah Selalu berpandangan negative pada lingkungan sekitarnya, seperti rasa tidak aman, khawatir, minder, curiga dengan orang lain, dan merasa orang lain sedang mengkritiknya. Ketidakstabilan emosional, yaitu tidak toleran atau tidak tahan terhadap stress, mudah tersinggung, mudah marah, dan sifat yang tidak dapat diprediksi oleh orang lain dan bahkan dapat menyebabkan kelainan seksual dan kehidupan ekonomi juga mempengaruhi kepribadian anak dalam bertindak. Beberapa cara untuk mengurangi Anti Social Potencial yang terjadi adalah dengan cara: Komunikasi diantara kedua orang tua harus ditingkatkan bila terjadi konflik dan diselesaikan dengan baik dan cari waktu yang tepat dalam menyelesaikannya, lebih kompak dalam hal pengauhan anak agar anak dapat berkembang dengan baik dan menuruti keinginan kedua orang tuanya.

Penulis : Dr. Hamirul
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo

Jl. Setih Setio No.5 Kelurahan Pasir Putih Kabupaten Bungo, Jambi
Corespondensi: hrul@ymail.com 085267335210