SUARA ARTIKEL – Dewasa ini tentu tidak asing lagi bagi kita melihat penegakan hukum di Indonesia yang masih lemah. Pelaku-pelaku pelanggaran hukum seperti koruptor, atau kasus hukum yang menimpa anak pejabat atau artis kaya yang cenderung tidak tegas, belum lagi di kalangan masyarakat atau pejabat di daerah yang tidak terekspos oleh media. Kalau kasus menimpa rakyat kecil hukum seolah tiada “memberi ampun” kepada pelanggarnya. Banyak terjadi jual beli hukum, pasal-pasal dalam undang-undang dapat ditawar kepada polisi, jaksa, bahkan hakim, belum lagi pengacara-pengacara yang menjadi “calo” dalam kasus hukum.
Sehubungan dengan hal ini Satjipto Raharjo (1982) mengatakan “di Indonesia banyak pengacara/advokat kalau menangani perkara di pengadilan bukan mencari kebenaran hukum melainkan mencari menang. Tetapi, sebenarnya bukan hanya pengacara/advokat yang berbuat seperti itu. Tiga institusi penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, dan hakim) kerap kali ditenggarai bukan berusaha mendudukan perkara pada posisi hukum yang benar melainkan mencari keuntungan dari penentuan akhir suatu perkara”.
Jika merujuk kapada pendapat Lawrence M. Friedman (1984) “efektif atau tidaknya penegakan hukum tergantung kepada tiga unsur, yaitu subtansi hukum (legal subtance), sturktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture)”. Subtansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, struktur hukum meliputi aparat penegak hukum, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut oleh masyarakat. Menurut penulis, di negara Indonesia faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum jika dianalisis berdasarkan teori Friedman adalah ketiga-tiganya. Dari faktor subtansi hukum masih terdapat instrumen hukum perundang-undangan yang masih multi tafsir (ambigu) pasal-pasal dalam undang-undang dapat dibelok-belokan sesuai kepentingan, hal ini tidak terlepas juga dari peran pembuat undnag-undang yang “boleh jadi” sengaja memasukan pasal-pasal yang multitafsir atau opsional dalam satu undang-undang untuk keperluan transaksional yang memang “boleh jadi” pula pasal-pasal tersebut adalah pasal-pasal hasil transaksi politik juga.
Peran aparatur penegak hukum yang belum maksimal juga menyebabkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia sebagaimana yang disampaikan Satjipto Raharjo di awal. Melalui aparat penegak hukumlah seperti polisi atau jaksa transaksi-transaksi “haram” untuk melakukan jual-beli hukum terjadi yang dimakelari oleh pengacara atau oknum-oknum dalam lembaga penegak hukum itu sendiri, bahkan pengacara juga dapat melobi hakim untuk meringankan putusan yang tentu saja semua hal ini ada harganya.
Sehubungan dengan ini Mahfud MD (2010) mengatakan “di Indonesia orientasi penegakan hukum terlihat ambigu di antara konsepsi rechtaat dan konsepsi rule of law. Dalam hal ini para penegak hukum maupun pihak yang terkena kasus hukum sering sekali tidak taat asas dan memilih konsepsi secara berpindah-pindah, jika upaya untuk memenangkan atau mengalahkan suatu perkara dapat didukung oleh konsepsi rechtaat maka yang dipergunakan adalah dalil-dalil kepastian hukum. Sebaliknya jika yang menguntungkan (baik untuk memenangkan maupun untuk mengalahkan) adalah rule of law, maka dalil-dalil yang digunakan adalah dalil rasa keadilan”. Begitu juga budaya hukum di masyarakat yang masih keliru. Banyak di masyarakat yang “alergi” jika berurusan dengan hukum bahkan sanggup melakukan apa saja seperti melakukan lobi melalui pengacara atau oknum-oknum penegak hukum yang tidak bertanggungjawab untuk dapat terhindar dari hukuman. Apalagi jika kasus yang menimpa elit politik atau konglomerat mereka akan melakukan segala cara untuk menghidari hukuman seperti berlindung dibalik alasan formal prosedural kasus hukumnya belum terbukti atau belum final, berusaha melakukan drama seperi kecelakaan menumbur tiang listrik sehingga dapat menghindari pemeriksaan karena harus dirawat di rumah sakit, membayar dokter agar memberikan keterangan palsu.
Sehubungan dengan itu, menurut mahfud MD (2010) hal ini dapat terjadi karena “upaya penegakan hukum telah dihambat oleh mereka yang teridikasi kuat melakukan pelanggaran hukum dan mencerabut moral dan rasa keadilan yang seharusnya menjadi sukmanya. Hukum yang seharusnya bersukma moral dan keadilan telah dibelokan ke arah formalitas prosedural belaka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih lemah secara subtansi agar dapat meminimalisir peluang-peluang untuk dibelok-belokan oleh aparatur penegak hukum yang tidak bertanggungjawab dengan mengacu kepada nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai kedilan di masyarakat. Untuk aparatur penegak hukum itu sendiri perlu dilakukan pembinaan karakter keagamaan agar memiliki moralitas yang baik, serta dari proses rekrutmen juga perlu diperbaiki karena ini juga ditenggarai memberi andi sebagai mata rantai lemahnya penegakan hukum. Yang terakhir kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran hukum. Praktek transaksi hukum tidak akan terjadi kalau masyarakat tidak mendukung hal tersebut.
Demi terwujudnya hal tersebut, tentu saja memerlukan kerjasama dan usaha ekstra dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat agar bersama-sama dan bahu-membahu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap diri dan lingkungan sesuai kapasitasnya. Agar upaya penegakan hukum di Indonesia dapat semakin baik dan menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang tertib, aman, damai, dan tenteram yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kelangsungan dan kemajuan negara.
Penulis : Nanang Al Hidayat. SH., MH
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo