PEMUDA SEBAGAI GENERASI

Oleh : Dedi Epriadi, S.Sos., M.Si

Pengamat Kebijakan Publik/Assesor Analis Kebijakan Publik

SUARA ARTIKELPemuda sebagai Generasi Orang muda adalah aktor kunci dalam sebagian besar proses perubahan ekonomi dan sosial. Mengambil contoh dari Indonesia, dua tema penting dalam kajian-kajian makro perubahan sosial adalah proses urbanisasi (pergerakan spasial populasi) dan de-agrarianisasi (pergeseran sektoral dalam pekerjaan). Sering dilupakan bahwa kedua pergeseran ini umumnya dilakukan oleh pemuda.

Walaupun definisi PBB tentang “pemuda” biasanya mencakupi mereka yang ber usia 15-24 tahun (bertumpang tindih mem bingungkan dengan “anak” yang meliputi usia 0-17 tahun), peraturan perundang-undangan Indonesia (seperti halnya di beberapa negara lain Asia, Afrika dan Amerika Latin) memperpanjang batas formal “pemuda” hingga usia yang mengherankan.

Undang-undang baru tentang kepemudaan mendefinisikan pemuda sebagai “warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun” (UU No. 40 Tahun 2009, Pasal 1.1). Alasan-alasan penguluran batas “pemuda” hingga tiga puluh tidak dijelaskan dalam Undang-Undang atau “naskah akademik” yang menyertainya di sepanjang proses pembahasan legislatif yang, pada mulanya (seperti dalam Rancangan Undang-Undang) menetapkan rentang umur 18-35 tahun.

Baca Juga :  Evolusi Visi 'Jambi Mantap Terdepan' Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP

Yang jelas, ini sejalan dengan banyak pemerintah negara sedang berkembang lain yang menetapkan batas akhir pemuda hingga 35 atau bahkan 40 tahun.

Kaum muda punya konsepsi sendiri tentang masa muda—sejauh yang bisa dipetik dari beberapa kajian soal ini—yang nampaknya mengaitkan transisi dari “anak” ke “remaja” atau pemuda dengan kemampuan menilai mana yang salah mana yang benar, dan transisi dari pemuda ke dewasa dengan kemandirian ekonomi dari generasi orang tua.

Salah satu perubahan penting yang terjadi pada masa muda di Indonesia, seperti di banyak negara lain, adalah perpanjangannya. Ketika orang muda menempuh pendidikan lebih panjang, rata-rata usia awal perkawinan mereka naik dan waktu memasuki dunia kerja di ulur, makin lama mereka berada dalam keadaan setengah atau sepenuhnya bergantung pada generasi orang tua yang untuk kebanyakan orang merupakan bagian dari karakteristik penentu kepemudaan, artinya sudah matang secara biologis tetapi dengan masa dewasa (sosial) ditangguhkan.

Batas-batas kepemudaan juga bersifat spesifik kelas. Misalnya, banyak laki-laki atau perempuan kelas menengah perkotaan di akhir usia dua puluhan mereka, masih lajang dan tinggal bersama orang tua mereka, menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dan belum memasuki dunia kerja profesional akan menganggap diri (dan dipandang sebagai) “pemuda” sedangkan laki-laki dan perempuan lain yang masih menginjak awal dua puluhan, tetapi sudah keluar dari sekolah pada usia 15 tahun atau sebelumnya, sudah bekerja sebagai buruh atau pedagang pasar selama beberapa tahun, dan sudah menikah dengan dua atau tiga anak, akan menganggap diri mereka (dan dipandang sebagai) “dewasa” oleh masyarakat mereka.

Baca Juga :  PESTA KEMATIAN : Antara Suka Cita dan Duka Cita Pemilu Serentak 2019

Sesungguhnya ada tiga makna penting “generasi” yang tetapi saling berkaitan. Yang pertama adalah pengertian murni demografis untuk suatu kelompok umur (didefinisikan secara biologis). Memberi peluang lebih besar kepada pemuda guna memperkuat jati diri dan potensinya dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Program ini memiliki lima sasaran:

1. Meningkatnya partisipasi pemuda dalam lembaga sosial kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan;
2. Terbentuknya peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan pemuda untuk mengorganisasikan diri nya secara bertanggung jawab;
3. Meningkatnya jumlah wirausahawan muda;
4. Menurunnya jumlah kasus penyalahgunaan narkoba oleh pemuda;
5. Menurunnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh pemuda.

Baca Juga :  Diduga Kaya, Ternyata Hanya Gaya

Untuk memahami perhatian dan praktik pemerintah serta kemasyarakatan terkait pemuda ini, ada perlunya menerapkan pengertian “governmentalitas” pada tata kelola pemuda, dan khususnya pada upaya untuk mengelola dan mendorong “transisi” yang sukses dan tak berisiko.

Di Indonesia dan banyak negara selatan lainnya, selama setidak-tidaknya tiga generasi pola umumnya adalah setiap generasi muda baru biasanya berpendidikan lebih baik daripada orang tua mereka. Sayangnya perkembangan ini tidak diimbangi dengan perluasan jenis-jenis kesempatan kerja bagi kaum muda yang menempuh pendidikan untuk itu.

Ironisnya, globalisasi memasukkan mereka ke dalam budaya dan konsumerisme kaum muda, tetapi pada saat yang sama mengesampingkan mereka dari situ karena posisi ekonomi marjinal mereka. Terdapat perbedaan spektakuler dalam hal kemakmuran antara yang kaya dan yang miskin dan sekalipun ada kelas menengah kecil yang sedang tumbuh, kelas ini hanya meliputi bagian sangat kecil dari keseluruhan penduduk.

Dengan berkelanjutannya globalisasi ekonomi dan budaya serta kecenderungan pada perpanjangan masa muda, makin banyak pemuda di Indonesia yang tumbuh dalam sebuah sistem referensi global budaya dan gaya hidup pemuda berbasis konsumen.

Komentar