SUARA ARTIKEL – Setiap negara memiliki sistem politiknya masing-masing, ada yang diselenggarakan secara demokratis, adapula yang diselenggarakan secara otoriter melalui bingkai sistem politik demokrasi, monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki, okhlokrasi, dan tirani. Antara satu negara dengan negara lain memiliki sistem politik yang menjadi pilihannya sendiri yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ideologi negara, konfigurasi penguasa, politik hukum, dan sejarah negara itu sendiri.
Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka sebenarnya telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya sejak merdeka sampai saat ini. Hanya saja dalam pelaksanaannya demokratisasi ini ditafsirkan secara berbeda-beda oleh penguasa. Seperti demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi langsung yang pernah dan sedang dijalankan oleh Indonesia.
Pasca reformasi setelah runtuhnya rezim orde baru sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang signifikan hampir di seluruh sendi-sendi pemerintahan. Salah satunya dalam sistem politik. Walaupun jika dikaji menurut teori konstitusi masih banyak kekeliruan dalam sistem tata negara Indonesia seperti adanya DPD yang dianggap “mubazir”, dualisme kekuasaan kehakiman, proses impeachment terhadap presiden yang tidak logis, dsb. Karena ketika runtuhnya orde baru dan pada saat mengamandemen UUD 1945 alasan-alasan untuk merubah, menghapus, atau menambah pasal-pasal dalam UUD 1945 lebih kepada alasan politis daripada teoritis konstitusional, hanya karena ketidaksukaan dengan rezim Soeharto. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahfud MD (2010) yang mengatakan “ketika perubahan UUD 1945 dilakukan ada kemungkinan perubahan itu didominasi atau dipengaruhi secara kuat oleh suasana dan emosi euphoria yang kemudian menampung dan menuangkan berbagai gagasan untuk amandemen konstitusi tanpa pertimbangan yang matang”.
Walau demikian saat ini yang menjadi resultante dalam sistem politik Indonesia adalah sistem demokrasi langsung yang menjiwai semua aspek dalam penyelenggaraan negara seperti pemilihan presiden, gubernur, bupati/walikota, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/kota yang terdapat dalam UUD 1945.
Sehubungan dengan demokrasi langsung menurut Rousseau (1989) “demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung tanpa perantara”. Beliau juga mengatakan 4 (empat) kondisi yang memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung di sebuah negara yaitu :
1. Jumlah warga negara harus kecil;
2. Pemilikian dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata);
3. Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya; dan
4. Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Dari teori Rousseau tersebut jika dikaji berdasarkan kondisi masyarakat di Indonesia tampak beberapa ketidaksesuaian. Yang pertama, dari segi jumlah warga negara Roesseau mensyaratkan demokrasi langsung harus dalam negara yang jumlah warga negaranya kecil sedangkan di Indonesia jumlah warga negara sangat besar bahkan terpadat nomor 4 (empat) di Dunia setelah RRC, Amerika, dan India dengan jumlah lebih dari 262 juta jiwa (BPS 2017). Hal ini menunjukan dari segi jumlah warga negara di Indonesia kurang mendukung untuk diterapkan demokrasi langsung. Karena dengan jumlah warga negara yang besar sulit untuk mengakomodir satu per satu suara misalnya dalam memilih wakil-wakil rakyat baik di eksekutif maupun di legislatif. Akibatnya, jika hal ini dipaksakan akan membebani keuangan negara karena proses demokrasi yang mahal (high cost democracy). Sebagai contoh menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman memperkirakan anggaran untuk pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2019 yang akan datang mencapai Rp16,8 triliun. Dari Rp16,8 triliun tersebut, Rp10,8 triliun digunakan untuk pelaksanaan tahapan awal pileg dan pilpres sepanjang 2018. Sementara Rp 6 triliun sisanya bakal dialokasikan untuk pelaksanaan pileg dan pilpres pada 2019. (CNN Indonesia 2018).
Untuk teori yang kedua mengenai pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata), tampaknya hal ini juga belum berjalan dengan baik di Indonesia bahkan setelah hampir 20 tahun reformasi. Karena dalam kenyataannya masih banyak ditemukan ketidakadilan sosial dalam masyarakat dalam penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya terkait kesejahteraan dan kemakmuran, padahal ini merupakan salah satu fungsi negara. Hal ini ditandai dengan masih tingginya kesenjangan sosial di Indonesia. Yang mana menurut Muliaman D Hadad (ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, 2018) mengatakan “masalah utama dalam kesenjangan sosial di Indonesia adalah perbedaan kesempatan”.
Dari pendapat Muliaman D Hadad tersebut dapat dilihat bahwa memang belum adanya pemerataan kesempatan pemilikan dan kemakmuran sehingga kesenjangan sosial di Indonesia masih tinggi. Untuk memperkuat argumen tersebut menurut Bank Dunia (2018) “kesenjangan sosial di Indonesia makin lebar sejak tahun 2000 adalah yang tertinggi di Asia. Di Indoensia, menurut data terbaru (2017) tingkat pengangguran terbuka naik dari 5,50 persen per Maret 2017 menjadi 5,61 persen atau 7,03 juta jiwa per Agustus 2016. Dari aspek ekonomi, ketenagakerjaan maupun aspek sosial, tidaklah berlebihan jika Indonesia saat ini dikatakan tengah mengalami situasi darurat kemiskinan dan kesenjangan”.
Teori yang ketiga, sebagaimana yang dikatakan Rousseau demokrasi langsung dimungkinkan dalam negara yang masyarakatnya homogen (secara budaya). Teori ini jika dihubungkan dengan Indonesia tentu kurang relevan. Karena sejatinya, Indonesia adalah negara yang maejemuk. Artinya, negara Indonesia tersusun atas segala macam perbedaan seperti suku, adat, ras, etnis, budaya, bahasa, maupun agama. Penulis memahami Rousseau mensyaratkan masyarakat harus homogen (sama) secara budaya agar dalam masyarakat relatif memiliki kesamaan pola fikir, pola sikap, dan pola tindak dalam menentukan arah penyelenggaraan negara yang pada gilirannya akan relatif mudah dalam mencapai keputusan, dapat diminimalisir disenting opinion (perbedaan pendapat) dalam masyarakat. Data mencatat (sensus 2010) terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia. Atau tepatnya 1.340 suku bangsa, 1211 bahasa, dan enam agama resmi.” Dari data tersebut tampak negara Indonesia bukan termasuk negara yang homogen. Artinya, menurut teori Rousseau demokrasi langsung sulit berjalan dengan baik di negara Indonesia.
Yang keempat, menurut Rousseau dalam demokrasi langsung harus terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian. Hal ini juga kurang relevan di Indonesia karena masyarakat kecil di Indonesia hanya sebagian kecil saja yang bermata pencaharian sebagai petani. Dari data BPS (2018) jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38, 97 juta pada 2014. Jumlah ini turun lagi menjadi 37, 75 juta pada 2015.” Sementara usia rata-rata petani semakin tua. Masih menurut data BPS (2018) mengenai status pekerjaan utama di Indonesia “banyak yang bekerja di sektor formal seperti keuangan, perdagangan, business sevices, komunikasi dsb, sementara pekerja informal hanya di pertanian”.
Dari pemaparan di atas, tampaknya demokrasi langsung bukanlah pilihan yang tepat dan hanya merupakan “pilihan terpaksa” untuk diterapkan di Indonesia karena kondisi wilayah dan masyarakat yang kurang sesuai sebagaimana teori Rousseau. Mahfud MD (2009) pun mengatakan “dalam praktek politik, demokrasi itu dipilih sebagai sistem politik oleh lebih dari dua pertiga negara yang ada di dunia. Alasannya, demokrasi terpaksa dipilih karena merupakan yang paling sedikit jeleknya di antara sistem-sistem lain yang sama jelek seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki, okhlokrasi, dan tirani”.
Penulis berpendapat, selain kondisi tersebut di muka faktor lain yang menyebabkan demokrasi langsng kurang sesuai di Indonesia adalah kualitas manusia Indonesia itu sendiri. Karena secara pendidikan masih banyak masyarakat Indonesia yang berpendidikan rendah, tingkat putus sekolah yang masih tinggi. Pendapat ini didukung data dari Kemendikbud (2018) mencatat jumlah putus sekolah di semua provinsi untuk tingkat sekolah dasar di Indonesia tahun 2016/2017 mencapai 39.213 jiwa, kemudian untuk tingkat sekolah menengah pertama mencapai 38.702 jiwa, dan untuk tingkat menengah atas mencapai angka 36.419, dan untuk tingkat sekolah menengah kejuruan mencapai 72.744 jiwa.
Hal ini akan mempengaruhi pola fikir dalam menentukan kriteria calon-calon wakil rakyat. Mereka akan memilih wakil-wakil dengan pertimbangan yang sangat subjektif seperti kesamaan suku, agama, citra yang dibangun oleh calon-calon wakil rakyat agar terlihat baik di masyarakat, tampilan fisik, dsb. Bukan memilih secara objektif dengan melihat kepada track record, visi-misi strategis, komitmen nyata. Yang menjadi permasalahan di Indonesia pemilih yang memilih wakil-wakil scara objektif lebih sedikit daripada yang memilih secara subjektif. Padahal dalam berdemokrasi langsung konsekwensinya adalah suara terbanyak itulah yang terpilih terlepas itu merupakan pilihan yang ideal atau tidak dengan kebutuhan masyarakat dan negara. Sejalan dengan itu Mahfud MD (2009) mengatakan “demokrasi itu menyesatkan karena menyerahkan kepada rakyat untuk menentukan pilihan haluan negara, padahal pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias awam”. Aristoteles dalam Mahfud MD (2009) juga mengingatkan dalam demokrasi itu banyak demagog, yakni agigator yang pandai menipu rakyat dengan pidato-pidato dan janji-janji bohong”.
Kalau hal ini terjadi akan terpilih wakil-wakil rakyat baik di eksekutif maupun di legislatif yang kurang baik, bermental korup, dan tidak memikirkan kepentingan masyarakat dan akhirnya akan melakukan kezoliman-kezoliman kepada masyarakat bahkan yang telah memilihnya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Yang pada akhirnya dapat merusak integritas, persatuan dan kelangsungan negara Indonesia. Menurut penulis, jika mau tetap demokrasi juga sebenarnya demokrasi perwakilan lebih realistis di Indonesia karena dalam pelaksanaannya tidak memakan biaya tinggi seperti demokrasi langsung.
Sebagai contoh pada pilpres 2014 lalu menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum waktu itu Ferry Kurnia mengatakan “untuk pemilu presiden, KPU menggelontorkan anggaran sebesar Rp 7,9 tirliun untuk dua putaran. Dana itu diperinci menjadi Rp 4 triliun untuk putaran pertama dan Rp 3,9 triliun untu putaran kedua”. Bayangkan saja seandainya uang sebesar itu digunakan untuk membantu rakyat kecil untuk mengurangi kemiskinan daripada dibuang untuk pemilu. Dengan mengahbiskan anggaran sedemikian besar hasil yang didapat juga belum sesuai harapan, banyak kepala daerah, anggota DPR, DPRD yang ditangkap polisi atau KPK karena korupsi, hal ini tentu saja disebabkan masyarakat yang telah salah dalam memilih yang telah tertipu oleh citra yang dibangun calon wakil rakyat tersebut. Oleh karena itu, perlu ditinjau ulang pilihan sistem politik di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 dalam hal pemilihan umum.
Penulis : Nanang Al Hidayat. SH., MH
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo