TERRORISM FIGHT BACK

SUARA ARTIKEL – Pertahanan dan Keamanan merupakan salah satu subsistem kemasyarakatan dalam sebuah negara, sebagai subsistem kemasyarakatan, pertahanan dan keamanan merupakan salah satu faktor yang menentukan eksistensi dan kemajuan sebuah Negara. Artinya, tanpa pertahahan dan keamanan yang kuat sebuah Negara akan sulit menghadapi segala macam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar.

Oleh karena itu, mewujudkan pertahanan dan keamanan merupakan tugas Negara yang harus dijalankan dengan baik. Untuk itu Negara melalui pemerintah harus membuat regulasi yang tegas dan kuat sebagai instrumen hukum yang dijalankan oleh aparatur-aparatur penegak hukum untuk melindungi masyarakat dari segala macam gangguan pertahanan dan keamanan.

Salah satu bentuk gangguan pertahanan dan keamanan dalam suatu Negara adalah tindak pidana terorisme. Yang mana di Indonesia terorisme merupakan salah satu kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) selain penyalahgunaan narkoba dan korupsi yang sulit diatasi karena sudah berjalan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Akhir-akhir ini teroris semakin berani menunjukan aksinya, yang terbaru adalah yang terjadi di Surabaya (Minggu, 13 Mei 2018) pada tiga tempat yang berbeda dalam waktu berdekatan yaitu di Gereja Kristen Indonesia di Jalan diponegoro, Gereja Santa Maria di Ngagel, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno yang mana peristiwa tersebut hanya selang beberapa hari setelah kerusuhan tahanan terorisme yang terjadi di rutan Mako Brimob, Kelapa dua, Depok. (Selasa, 8 Mei 2018).

Di Indonesia, faktor penyebab terorisme bisa disebabkan masalah agama, bentuk kekecewaan kelompok-kelompok tertentu terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dan dapat juga karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab yang ingin mengadu domba antar pemeluk agama, dan antar kelompok masyarakat. adapun terorisme sendiri menurut Moghaddam (2005) didefinisikan sebagai “kekerasan yang bermuatan politis, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau Negara untuk menimbulkan perasaan terteror dan tidak berdaya pada suatu populasi dengan tujuan mempengaruhi suatu proses pengambilan keputusan atau mengubah perilaku”.

Di Indonesia komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana terorisme dapat dilihat melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana terorisme. Namun dalam pelaksanaannya, undang-undang ini masih belum dapat dikatakan efektif karena masih sering terjadi aksi-aksi terorisme sejak undang-undang ini disahkan sampai saat ini.

Penulis menilai, belum efektifnya undang-undang tersebut karena masih terdapat kelemahan-kelemahan secara subtansial. Salah satu kelemahan dalam undang-undang terorisme ini adalah pada Pasal 26. Menurut Pasal 26 ayat 1 menentukan bahwa “untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen”.

Pasal 26 ayat 1 ini menunjukan bahwa polisi harus memenuhi syarat-syarat formalitas untuk mengungkap kejahatan terorisme seperti harus ada dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dua alat bukti namun jika merujuk kepada Pasal 184 KUHAP bukti permulaan yang cukup harus dimaknai minimal dua alat bukti di antara lima yaitu : keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa.

Selain itu, kelemahan dalam undang-undang ini terdapat dalam Pasal 26 ayat 4 yang menentukan “jika dalam pemeriksaan sebagaimana dalam ayat (2) ditetapkan adanya alat bukti permulaan yang cukup, maka ketua pengadilan negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan”. Regulasi ini mengandung kelemahan karena polisi harus mendapat perintah pengadilan negeri untuk melakukan penyidikan, padahal waktu yang dibutuhkan adalah tiga hari, lalu penyidikan harus mendapat perintah dahulu dari pengadilan negeri setempat sehingga memakan waktu yang lama dan tidak efisien. Selanjutnya, dalam menyiapkan aksinya teroris sering melakukan pergerakan intelijen antara lain dalam perekrutan, penggalangan, perencanaan dan aksi. Semuanya berada di bawah layar sehingga kepolisisan sulit untuk membuktikannya.

Kelemahan ini disebabkan karena Negara Indonesia memang menerapkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang diterapkan di semua instrumen hukum pidana yang mana Negara/aparatur penegak hukum tidak boleh menangkap orang yang tidak bersalah/ belum melakukan kejahatan. Hal ini membuat polisi menjadi tidak berdaya walaupun (boleh jadi) ada orang yang mencurigakan baik gerak-gerik maupun penampilan namun tidak boleh ditangkap sebelum orang tersebut menunjukan aksi-aksi nyata melawan hukum. Padahal, tindak pidana terorisme memiliki spectrum yang sangat luas dan karakteristiknya juga berbeda dengan tindak pidana lainnya.

Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi atas undang-undang terorisme di Indonesia selain mengatur langkah-langkah represif perlu dimasukan aturan mengenai langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme dengan menerapkan hukum progresif dengan menghilangkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam undang-undang terorisme ini. Yang mana yang dimaksud hukum progresif menurut Satjipto Raharjo (2002) adalah “suatu gagasan tentang hukum yang menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru penegakan hukum di Indonesia yang menginginkan hukum mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dalam penegakan hukum”.

Di samping itu, untuk semakin memantapkan upaya pemberantasan terorisme di Indonesia dalam penanganannya tidak hanya penegakan hukum oleh pihak berwajib namun memerlukan kerjasama dari semua pihak termasuk masyarakat yang harus lebih peka dalam melihat situasi lingkungan dengan segera melaporkan kepada pihak berwajib jika menemukan gerak-gerik yang mencurigakan agar dapat dilakukan pencegahan dengan deteksi dini terhadap terorisme untuk meminimalisir dampak negatif dari aksi-aksi terorisme yang merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Penulis : Nanang Al Hidayat, SH., MH
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Setih Setio Muara Bungo