SUARA ARTIKEL – Politik adalah salah satu subsistem kemasyarakatan yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Tanpa disadari dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia sudah berpolitik untuk memenuhi kebutuhannya dan bertahan hidup. Dalam tataran negara, politik direpresentasikan dalam bentuk partai politik yang merupakan kristalisasi ideologi orang-orang yang memiliki kesamaan tujuan. Politik sendiri secara umum dapat diartikan cara untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Inu Kencana Syafiie (2005:6) politik adalah adanya hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, kelakuan pejabat, legalitas keabsahan, dan akhirnya kekuasaan.
Dari perspektif politik sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan dan hubungannya dengan kekuasaan, dalam tataran negara hal ini harus diwujudkan dengan memegang kendali kekuasaan. Oleh karena itu, banyak partai politik melalui kader-kadernya berupaya untuk memiliki kekuasaan baik tingkat daerah maupun tingkat pusat dengan berkompetisi dalam pilkada gubernur, bupati/walikota, sampai pemilihan presiden.
Sehubungan dengan pemilihan presiden di Indonesia, beberapa waktu yang lalu KPU telah mengumumkan bakal calon wakil presiden dan wakil presiden pilpres 2019 bahwa ada dua pasangan calon yang resmi mendaftar yaitu dari petahana Ir. H. Joko Widodo sebagai presiden bersama Prof.Dr. K.H. Ma’ruf Amin sebagai wakil dan penantang yang juga wajah lama yaitu H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo sebagai presiden bersama H. Sandiaga Salahuddin Uno, B.B.A., M.B.A. sebagai wakil. Yang mana, kedua bakal calon tersebut masih harus melewati rangkaian tes kesehatan agar dapat ditetapan sebagai calon presiden dan wakil presiden pilpres 2019.
Uniknya, konteslasi politik pilpres tahun 2019 nanti masih dihiasi oleh wajah lama, atau dapat dikatakan pilpres 2019 nanti merupakan ulangan pilpres 2014 yang lalu karena masih melibatkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai capres. Jika dilihat dari komposisi partai pendukung dapat dilihat petahana didukung oleh lebih banyak partai dibanding penantang. Dalam hal ini petahana didukung oleh sembilan partai politik yang menamai koalisinya dengan sebutan Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, PKPI, Hanura, PSI, dan Perindo, walaupun belakangan dua nama terakhir dicoret oleh KPU karena tidak memenuhi syarat. Sedangkan penantang didukung oleh empat partai politik yaitu Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS.
Menarik untuk dikaji, sebelum mengkerucut kepada dua pasang bakal calon presiden dan wakil presiden tersebut, konteslasi dalam perjalanan politik sebelum penetapan penuh dengan manuver politik dan intrik yang terjadi pada masing-masing kubu. Beberapa orang sempat disebut-sebut sebagai calon wakil presiden sebut saja Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, Sri Mulyani, TGB, UAS, AHY, bahkan sempat pula muncul isu akan lahirnya poros ketiga yang akan memberi warna baru dalam pilpres yang digadang-gadang Jend TNI Gatot Nurmantyo namun belakangan isu ini menguap.
Menakar hitung-hitungan politik kedua pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden tersebut dapat dilihat dari kubu petahana, penulis menafsirkan dengan dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden disebabkan beberapa faktor yaitu pertama : nama ini merupakan jalan tengah antara Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar karena kedua nama tersebut menyebabkan tarik-menarik yang kuat dalam tubuh partai pengusung yang dapat menimbulkan konflik internal hingga perpecahan. Oleh karena itu, dipilih Ma’ruf Amin karena nama ini yang dapat diterima oleh seluruh partai koalisi.
Kedua : dengan menggandeng Ma’ruf Amin yang merupakan ketua MUI dan orang yang berpengaruh besar dalam NU serta pengalaman yang mumpuni di berbagai bidang (lihat wikipedia) karena beliau seorang akademisi, pernah juga di legislatif yaitu anggota DPRD, DPR, MPR, pernah juga menjadi anggota dewan pertimbangan presiden era SBY dsb, diharapkan dapat merubah citra PDI Perjuangan dan Jokowi yang belakangan oleh sebagian kalangan dianggap anti islam, PDI Perjuangan dan Jokowi tentu menyadari masa dari umat islam merupakan masa potensial yang tidak boleh dikesampingkan karena jumlahnya yang besar khususnya dalam kelompok NU yang merupakan mayoritas kelompok keislaman di Indonesia. Artinya, dengan adanya Ma’ruf Amin dapat meredam anggapan tersebut sekaligus diharapkan dapat menarik simpati umat islam serta menjadi jembatan agar Jokowi dapat terpilih kembali menjadi presiden dengan bantuan masa dari Ma’ruf Amin. Tetapi perlu diingat, pada 2004 Megawati pernah bersanding dengan ketua NU pada waktu itu K.H. Hasyim Muzadi yang diharapkan dapat mendongkrak masa namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebenarnya ini dapat menjadi cerminan/acuan.
Namun penulis beranggapan, Ma’ruf Amin memang disukai di kalangan elit dan simpul-simpul ulama khususnya nahdliyin namun tidak di kalangan masyarakat umum. Membawa simbol agama di pilpres boleh jadi dua hal, bisa menjadi senjata yang dapat melumpuhkan lawan namun bisa juga menjadi bumerang yang dapat berbalik menyerang. Artinya, Ma’ruf Amin bisa disukai dan bisa juga justru tidak disukai oleh masyarakat umum, karena tidak semua orang setuju simbol agama dalam pilpres. Juga yang perlu diingat, problem terbesar masyarakat saat ini bukan masalah agama namun masalah ekonomi yang tak kunjung membaik. Menurut penulis kemungkinan yang kedua ini dapat menjadi ancaman bagi petahana.
Ketiga: untuk jangka panjang, Ma’ruf Amin dianggap oleh PDI khususnya oleh Megawati tidak akan membahayakan PDI sendiri di pilpres 2024 karena non partai (meski pernah di PPP dan PKB) dan faktor usia yang sudah sangat senior dianggap tidak akan mengancam di 2024, tidak seperti Mahfud MD atau Muhaimin Iskandar yang dianggap dapat menjadi ancaman di 2024 (ibarat memelihara anak harimau) . Padahal, penulis sendiri melihat walaupun di Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah boleh jadi Ma’ruf Amin memiliki basis masa yang cukup besar dari nahdliyin, namun secara umum dalam lingkup nasional sebenarnya Mahfud MD lebih memiliki nilai jual dibandingkan Ma’ruf Amin sendiri karena track recordnya selama ini yang dinilai bersih dan mewakili tokoh negarawan, profesional dan religius.
Untuk kubu penantang sendiri, politik yang melatar belakangi dipilihnya Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto ditenggarai beberapa hal pertama: Prabowo tidak ingin membenturkan ulama yang dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat islam karena di kubu Jokowi sudah ada Ma’ruf Amin. Walaupun ijtima’ para ulama menginginkan Prabowo mengambil wakil dari kalangan ulama/religius seperti UAS atau A’a Gim namun Prabowo mengesampingkan hal tersebut demi kemaslahatan.
Kedua: dibanding AHY, Sandiaga Uno dianggap lebih memiliki nilai jual. Karena sandi adalah pengusaha sukses yang memberikan simbol enterpreneurship di kalangan generasi muda (pemilih milenia) yang jumlahnya cukup besar di Indonesia. Sandiaga Uno juga aktif di organisasi, beliau pernah menjadi ketua PRSI, pengurus HIPMI, beliau juga lulusan terbaik dari Universitas Negeri Wichita salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat dengan predikat summa cum laude, pemilik beberapa perusahaan besar di Indonesia seperti PT Recapital Advisor, PT Saratoga Investama, dsb, di pemerintahan program oke oce di DKI Jakarta bersama Anies Baswedan sudah mulai berjalan, yang diharapkan pengalaman-pengalaman ini dapat memberikan solusi perbaikan ekonomi di Indonesia. Penulis melihat hal ini tidak dimiliki oleh AHY, justru AHY juga berlatar belakang militer yang sama dengan Prabowo Subianto, hal ini dianggap bukan merupakan kombinasi yang tepat karena memiliki nilai jual yang rendah.
Ketiga: Dari hasil pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu Sandiaga Uno bersama Anies Baswedan telah terbukti berhasil memenangkan pilkada gubernur tersebut dan ini merupakan nilai positif yang juga tidak dimiliki oleh AHY yang bahkan pada kesempatan yang sama ketika berduet dengan Silviana Murni justru kalah dalam pilkada tersebut.
Perlu diketahui, pilkada DKI Jakarta berbeda dengan pilkada di daerah lain di Indonesia. Pilkada DKI Jakarta dianggap sebagai repersentasi nasional karena kemajemukan penduduk DKI Jakarta tersebut sama seperti kondisi masyarakat Indonesia atau dengan kata lain pilkada DKI Jakarta merupakan miniatur pilpres di Indonesia. Artinya, ini merupakan salah satu indikator, jika seseorang memenangkan pilkada DKI berarti berpeluang memenangkan kompetisi yang lebih besar, hal ini sudah dibuktikan oleh Jokowi sendiri.
Jika dibandingkan dengan UAS, UAS sendiri sebenarnya memiliki nilai jual yang cukup baik, beliau merupakan calon hasil ijtima ulama, memiliki penggemar yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di kalangan muda maupun tua, beliau juga paham agama. Namun penulis melihat Prabowo lebih cenderung tidak menampilkan agama secara simbolis dalam bentuk wakil dari ulama namun lebih kepada subtansi yang mana sandi merupakan sosok yang religius, yang mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam aktifitas sehari-hari dan ini dianggap lebih diterima oleh masyarakat daripada sekedar pencitraan.
Keempat: Sandiaga Uno adalah kader Gerindra (walaupun ketika pencalonan langsung mengundurkan diri). Artinya, dengan menggandeng kader dari Gerindra itu sendiri sekaligus menjaga peluang Gerindra di piplres 2024 karena penulis meyakini, pengunduran diri Sandiaga Uno dari Gerindra hanya manuver politik dan cepat atau lambat Sandiaga Uno akan kembali menjadi kader Gerindra dan siap berprestasi lagi di masa yang akan datang dan membesarkan nama Gerindra.
Lalu, bagaimana dengan peluang kedua pasangan dalam pilpres mendatang? Masih patut ditunggu manuver-manuver politik kedua pasangan calon untuk memenangkan hati masyarakat dan semua masih sangat bisa berubah tergantung situasi dan kondisi dalam beberapa bulan ke depan. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat harus mengikuti setiap prosesnya dan mempertimbangkan pilihan politik secara objektif, melihat calon dari track rekord bukan faktor kedaerahan, agama, fisik, apalagi karena money politik. Jadilah pemilih yang cerdas dan jangan golput karena golput memberi peluang kepada orang yang tidak baik untuk menjadi penguasa.
Pilihlah yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada meski dianggap tidak ada yang baik. Karena ini adalah konsekwensi sistem politik di Indonesia yaitu demokrasi langsung.
Penulis berharap walaupun sekarang adalah tahun politik, namun kita harus dapat menjaga persatuan dan kesatuan serta membina hubungan baik sesama manusia. Jangan sampai karena perbedaan pilihan politik membuat kita terkotak-kotak, saling curiga, sinis satu sama lain bahkan melakukan aksi anarkis. Karena apapun jalan politik yang ditempuh tetap pada akhirnya kita semua menginginkan suatu cita-cita yang sama yaitu kemajuan dan kesejahteraan negara Indonesia tercinta.
Penulis : Nanang Al Hidayat, S.H., M.H.
Dosen STIA Setih Setio Muara Bungo